Minggu, 30 November 2008

RELEVANSI KONSEP SECURITY DILEMMA PADA KASUS NUKLIR

ABSTRACT

Security dilemma is a term used in international relations and refers to a situation wherein two or more states are drawn into conflict, possibly even war over security concerns, even though none of the states actually desire conflict. Any attempt a state makes to increase its own security will actually decrease its security. This paper tell about the relevan about security dilemma concept to describes nuclear programes who do it by India, Pakistan and Cina. The line concept of the conflict are cina nuclear programes because the nuclear had been lose quality than US, England, France, and Rusia beside the conflict of line teritority soverenity with India. India make a nuclear programes because of the dilemma from Cina nuclear, and Pakistan maked nuclear programe because of the dilemma with nuclear India Programe and beside the contemporery conflict problem between Pakistan and India.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perang Dingin telah menimbulkan berbagai dampak dalam politik internasional, khususnya dengan munculnya tren perlombaan senjata (arms race). Masing-masing negara saling berlomba mengembangkan persenjataan. Salah satunya adalah senjata nuklir yang dapat digolongkan sebagai senjata pemusnah massal, sehingga mampu menjadi aset persenjataan yang paling kuat. Konsepsi security dillemma (dilema keamanan) menjelaskan fenomena ini sebagai hasil dari kekhawatiran suatu negara terhadap pengembangan persenjataan negara lain, yang kemudian mendorongnya untuk melakukan hal serupa. Dikembangkannya senjata nuklir merupakan usaha untuk mecegah negara lain dari upaya penggunaan kekerasan terhadapnya. Fenomena tersebut membuat beberapa negara terkemuka berlomba memperkuat sistem pertahanan dan keamanan dengan strategi perimbangan nuklir.

Salah satu wilayah yang paling berpotensi sebagai tempat terjadinya konflik dimasa mendatang adalah Asia Selatan. Dua negara yaitu Pakistan dan India memiliki mengembangkan senjata nuklir diakibatkan oleh sejarah panjang konflik. Selain itu, negara Cina berbatasan langsung dengan India dan pakistan juga memiliki latar belakang permasalahan dengan India. Penulis menarik melihat permasalah dari India-Pakistan dan Cina diatas dengan menggunakan konsep security dilemma.

Pada awalnya persahabatan India dan Cina terjalin baik itu ditunjukkan dari usaha India memperjuangkan partisipasi Cina dalam konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di bandung yang berdampak politis sangat besar terhadap kebangkitan solidaritas rakyat Asia-Afrika tahun 1955 tersebut. Pada tahun 1927, ketika menghadiri sebuah konferensi partai-patai kolonial, Nehru sudah menyatakan bahwa ” Persahabatan antara India dengan Cina dapat membentuk kekuatan di belahan timur”[1]

Tetapi hubungan kedua negara ini menjadi buruk karena persoalan Tibet. Masalah ini kemudian meluas menjadi insiden perbatasan Cina dan India. Pada tahun 1959 pasukan Cina selain merampas pemberontakan di Tibet juga bertempur melawan pasukan India di Long Ju (India) yang mengundang reaksi India. Hal Ini kemudian menimbulkan perasaan anti Cina di India. Nehru sendiri menyebut pendudukan Cina terhadap Long Ju sebagai suatu kasus agresi nyata dan ia mengumumkan maksud India untuk melindungi perbatasannya dan memperkuat diri untuk melindungi integritas negaranya.

Permasalahan antara pakistan dan India muncul sejak negara-negara tersebut merdeka lepas dari Inggris. Bersamaan dengan kemerdekaan kedua negara tersebut, tahun 1947 pemerintah kolonial Inggris menghendaki agar semua negara-negara bagian bergabung dengan salah satu dari negara tersebut.[2] Dengan pertimbangan bahwa kerajaan akan mendapat keuntungan dari pertentangan anatara India-Pakistan.

Pakistan Menyerang Kashmir, karena tidak mampu menghadapi Pakistan kemudian meminta bantuan India. Yang menjadi masalah adalah Penguasa wilayah Jammu dan Kashmir yaitu Maharaja Kashmir Hari Singh yang berlatar belakang hindu menyerahkan kekuasaannya khususnya dibidang pertahanan, komunikasi dan masalah luar negeri kepada India pada bulan oktober 1947 melalui kesepakatan yang disebut instrumen of accession.[3]

Setelah Cina melakukan uji coba nuklirnya yang pertama 16 oktober 1964. Motivasi Cina adalah ingin meyempurnakan teknologi pembuatan senjata nuklir yang dirasakan masih jauh terbelakang dibandingkan dengan Amerika serikat, Inggris, Perancis maupun Rusia. Berkaitan dengan itu dan persepsi ancaman atau dilemma keamanan terhadap integritasnya sebagai negar besar dan berdaulat, India telah banyak belajar dari sejumlah massa lalu. Uji coba nuklir Cina dianggap sebagai ancaman ekstra regional merupakan pertimbangan penting dalam perencanaan pertahanan dan keamanan India sehingga India juga mengembangkan nuklirnya.. Lalu setelah perpecahan India-Pakistan, berbagai masalah antara India dan Pakistan akhirnya menimbulkan ketegangan antara kedua pihak. Pasca tes nuklir Pokhran yang pertama yang dilakukan oleh India sampai ekshalasi masalah India-Pakistan, sehingga Pakistan juga terdorong untuk mengimbangi nuklir India dengan memiliki senjata nuklirnya sendiri (disinyalir bekerjasama dengan Cina),

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang penulis merumuskan masalah yaitu, ’Bagaimana relevansi security dilemma pada kasus nuklir India-Pakistan dan Cina ’

C. Kerangka Konseptual

Apabila rasa curiga decision-makers suatu Negara terhadap Negara lain semakin membesar, padahal mungkin saja kondisi realitanya tidak demikian halnya, ada beberapa pilihan yang dapat diambil untuk mengantisipasi keadaan tersebut. Salah satunya, dalam bentuk yang bersifat konfrontatif, yaitu membangun kekuatan untuk mengimbangi lawan yang dianggap membangun militer yang ditunjukan terhadap dirinya. Konsep dilemma keamanan (security dilemma) dapat digunakan untuk menganalisis fenomena ini

Perlombaan senjata yang secara strategis tidak stabil dan secara politis tidak terkendali. Di sini, negara-negara bermusuhan ataupun yang sedang mengalami ketegangan terkunci dalam sebuah siklus ketakutan bersama (suatu proses yang disebut pembentukan reaksi permusuhan)[4]. Dalam proses ini setiap pihak sama-sama merasa terancam. Kesiagaan defensif salah satu pihak dianggap bukti motif ofensif oleh pihak lain, yang selanjutnya mempersenjatai diri sebagai tanggapannya. Antar pihak berusaha saling mengungguli sehingga menumbuhkan perlombaan senjata dan pasukan, baik secara kualitatif maupun kuantatif. Perlombaan ini menciptakan dilemma keamanan.

Dilema keamanan atau Security dilemma didefinisikan sebagai fenomena aksi serta reaksi antar beberapa negara. Tindakan suatu negara untuk meningkatkan keamanan akan dianggap sebagai atau akan melemahkan keamanan negara lainnya.[5] Sebaliknya reaksi dari negara-negara terakhir terhadap tindakan negara tersebut akan mendapat respon dengan cara yang sama. Security dilemma terjadi karena:[6]

1. Sulitnya membangun saling kepercayaan diantara para pembuat keputusan

Apabila rasa curiga decision-makers suatu Negara terhadap Negara lain semakin membesar, padahal mungkin saja kondisi realitanya tidak demikian halnya, ada beberapa pilihan yang dapat diambil untuk mengantisipasi keadaan tersebut. Salah satunya, dalam bentuk yang bersifat konfrontatif, yaitu membangun kekuatan untuk mengimbangi lawan yang dianggap membangun militer yang ditunjukan terhadap dirinya.

2. Kegagalan komunikasi antar Pihak

Meskipun satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik menginginkan perdamaian, cara yang mereka gunakan untuk mencapai perdamaian cenderung merusak iklim dan prospek perdamaian itu sendiri.

3. Faktor sejarah atau keadaan kontemporer

Latar belakang sejarah konflik ataupun perbedaan pandangan baik itu permusuhan, pergesekan, dan ketegangan dari faktor masa lalu dapat memicu terjadinya dilema keamanan. Hal itu terjadi karena adanya dampak psikologis dari aktor-aktor pembuat kebijakan terhadap situasi keamanan masa kini yang dihubungkan dengan faktor masa lalu.

4. Kemajuan teknologi menyulitkan penentuan karakter persenjataan, apakah bersifat ofensisf atau difensif.

Dilema pertahanan juga bisa terjadi jika senjata perkembangan di bidang teknologi

modern menjadikan strategi ofensif jauh lebih menguntungkan dibanding strategi defensif. Munculnya jenis-jenis persenjataan modern, seperti pesawat pembom jarakjauh, pesawat stealth, miniaturisasi hululedak, dan teknik pengendalian rudal adalah beberapa contoh dalam kategori ini. Senjata-senjata seperti itu dapat sangat efektif, dan seringkali dapat memiliki daya musnah luarbiasa tanpa harus mengalahkan lawan. Senjata-senjata seperti ini bukan hanya memaksa pemiliknya melakukan serangan pertama, tetapi juga menjadikan sistem pertahanan tradisional yang dirancang untuk perang konvensional tidak lagi efektif. Keamanan nasional, oleh karenanya, memerlukan adaptabilitas yang tinggi dalam bidang doktrin maupun pengembangan sistem persenjataan.

Pengembangan senjata nuklir India merupakan ancaman menurut Pakistan membuat negara ini terus melakukan aksi-reaksi atas suatu keputusan mengembangkan senjata kedua negara tersebut. Dampak psikologis dari security dilemma “Logika Too much and Too little” Dalam logika ini terkandung pandangan bahwa; When the states seek the ability to defend themselves, they get too much and too little. Too much because they gain the ability to carry out aggression. Too little because others, being menaced, will increase their own arms and so reduce the first’s state security” Kesiagaan defensif suatu negara A dianggap sebagai motif suatu motif ofensif yang ditunjukan terhadap negara B. Selanjutnya decision makers negara A yang merasa terancam tersebut akan mempersenjatai dirinya untuk mengantisipasi ancaman yang dipersepsikannya. Sementara negara B dianggap sebagai ancaman tersebut, juga memiliki pandangan yang sama. Peningkatan persenjataan negara A tersebut juga dianggap bertujuan ofensif terhadap negara B. Akibatnya negara A tersebut juga dianggap bertujuan ofensif terhadap negara B. Akibatnya negara B tersebut juga mengambil kebijakan yang sama. Semua pihak berusaha saling menggunguli sehingga menumbuhkan perlombaan senjata dan pasukan, baik secara kualitatif dan kuantitatif. Akhirnya yang terjadi adalah perlombaan persenjataan. Ini yang disebut dilema keamanan.

D. Hipotesis

Dengan memahami latar belakang masalah dan kerangka pemikiran yang dipakai dapat ditemukan jawaban bahwa relevansi security dilemma atau dilema keamanan pada nuklir India, pakistan dan Cina menyebakan pengembangan nuklir dilakukan oleh ketiga negara tersebut. Yaitu yang dirunut oleh dilema ; Cina mengembangkan nuklir karena jauh terbelakang dibandingkan dengan Amerika serikat, Inggris, Perancis maupun Rusia disamping sengketa perbatasan melawan India. India mengembangkan nuklir karena sengketa perbatasan dengan Cina dimana merasa terancam dengan kepemilikan nuklir Cina, dan Pakistan mengembangkan nuklir karena merasa dilemma dengan kepemilikan senjata nuklir India pasca terpisahnya kedua negara ini disamping latar belakang konflik antara pemerintahan India dan pakistan.

BAB II PEMBAHASAN

A. Konflik Nuklir India - Cina

Pada awalnya hubungan Cina dan India berjalan dengan baik, terbukti india bahkan menyakini suatu persahabatan dengan menandatangani panch shell pada tahun 1954. perjanjian ini dinyatakan kembali oleh nehru dan Zhou En-Lai (PM Cina waktu itu) oada akhir kunjungan Pm Cina tersebut ke India dibulan Juni ditahun yang sama. Perjanjian ini merupakan prinsip hidup berdampingan secara damai bagi India yang telah diyakini sejak lama.[7] Pada tahun 1927, ketika menghadiri sebuah konferensi partai-partai kolonial, Nehru sudah menyatakan bahwa ”persahabatan India dengan Cina dapat membentuk kekuatan dibelahan timur.[8] Persahabatan India dan Cina juga ditunjukkan dari usahanya memperjuangkan partisipasi Cina dalm konferensi Asia Afrika tahun 1955 di bandung yang berdampak politis sangat besar terhadap kebangkitan solidaritas rakyat Asia-Afrika.

Hubungan ini menjadi buruk karena persoalan tibet dan sikkim, kemudian masalah ini meluas menjadi insiden perbatasan Cina dan india. Pada tahun 1959 pasuka Cina selain menumpas pemberontakan di Tibet juga bertempur melawan pasukan India di long ju (India) yang mengundang reaksi India. Nehru sendiri menyebut pendudukan Cina terhadap Long Ju sebagai ”suatu kasus agresi nyata” dan ia mengumumkan maksud India untuk melindungi perbatasannya dan memperkuat diri untuk melindungi integritas negaranya.

Pada tanggal 16 oktober 1964 Cina melakukan uji coba nuklirnya yang pertama. Motivasi Cina adalah ingin meyempurnakan teknologi pembuatan senjata nuklir yang dirasakan masih jauh terbelakang dibandingkan dengan Amerika serikat, Inggris, Perancis maupun Rusia. Berkaitan dengan itu dan persepsi ancaman atau dilemma keamanan terhadap integritasnya sebagai negar besar dan berdaulat, India telah banyak belajar dari sejumlah massa lalu. Uji coba nuklir Cina dianggap sebagai ancaman ekstra regional merupakan pertimbangan penting dalam perencanaan pertahanan dan keamanan India.

Koflik kedua negara semakin menghangat ketika India mulai menguji coba kemampuan nuklirnya pada tahun 1974 lewat proyek Smillling Budha digurun pokhran. Tindakan India tersebut mendorong pakistan untuk mengembangkan kemampuan nuklirnya pada tahun 1956 melalui badan pengembangan atom ( The Pakistan Atomic Energy Commision atau PAEC) yang dibentuk pada tahun 1956.[9]

Satu hal yang paling jelas adalah pernyataan para petinggi India pasca percobaan nuklir pokhran II tahun 1998, bahwa alasan dari pengembangan militer India adalah untuk menghadapi ancaman Cina. Tak Kurang PM Atal Behari Vajpayeedan menteri pertahanannya, George Fernandes memberikan pernyataan tersebut , yang kemudian disikapi dengan kemarahan besar dari para pejabat Cina, sekalipun kemudian pernyataan tersebut dibantah oleh India.[10]

B. Konflik Pakistan dan India

Bila dirunut dari sejarah maka pakistan pada awalnya adalah bagian dari India. Setelah Inggris menjajah wilayah India dan Pakistan sejak abad XVII, maka pada tahun 1947 ketika banyak negara-negara didunia mulai lepas dari kolonialisme, India dan Pakistan juga diberikan hak sebagai negara merdeka dari Inggris. Kedua wilayah tersebut dipisahkan atas agama, India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas Islam, yang menjadi masalah adalah penguasa wilayah jammu dan kashmir yaitu Maharaja Kashmir Singh yang berlatar belakang Hindhu menyerahkan kekuasaannya khusus dibidang pertahanan, komunikasi dan masalah luar negeri kepada India pada bulan oktober 1947 melalui kesepakatan yang disebut Instrument of accesion.[11] Kashmir yang mayoritas berpendududk muslim akhirnya bergabung dengan India, walau pada saat itu maksud dari Maharaja Kashmir Hari Singh adalah untuk menghindari perang suku.[12]

Negara india dan pakistan merupakan negara-negara besar dikawasan Asia selatan yang terus mengalami permusuhan, pergesekan, dan ketegangan. India dengan posisi dominan dikawasan Asia Selatan merupakan suatu syarat terciptanya suatu kawasan yang stabil. Pada dasarnya India –pakistan dipisahkan oleh prinsip dasar tentang negara yang sangat berbeda. India yang memiliki penduduk mayoritas Hindu menganut faham scular state, Pakistan menganut paham theocratic state.

Pada pertengahan bulan Juni tahun 1988, Menlu Ameriak Serikat (AS) George Shultz didepan sidang PBB mengenai perlucutan senjata mengemukakan kekhawatiran akan kemungkinan pecahnya nuklir perang nuklir. Menurut Shultz, Asia Selatan merupakan kawasan yang paling rawan bagi kemungkinan pcahnya perang nuklir.[13]

Pada tanggal 18 Mei 1974 India berhasil melakukan uji coba ledakan nuklir yang dinyatakannya untuk maksud-maksud damai (Peaceful Nuclear Explosion-PNE) ”the atomic energy programme has as its objectives the generation of electrical power from nuclear energy, and utilisation of radio active isotopes for bringing about improvement in agriculture medicine, industry, research and many other areas.[14]

Tindakan India tersebut mendorong pakistan untuk mengembangkan kemampuan nuklirnya yang telah direncanakan pada tahun 1956 melalui badan pengembangan atom ( The Pakistan Atomic Energy Commision atau PAEC) yang dibentuk pada tahun 1956.[15] Namun Presiden Zulfikar Ali Bhutto yang menjadi perdana menteri Pakistan pada 20 desember 1971 merealisasikan opsi untuk memiliki senjata nuklir. Dalam perkembangannya, Pakistan memperoleh banyak dukungan Cina dalam pengembangan senjata nuklirnya.[16]

Ketegangan memuncak dalam uji coba nuklir India Pakistan, setelah masing-masing mengerahkan mesin perang keperbatasan. Dalam perkembagan selanjutnya kedua belah pihak saling berlomba mengerahkan kekuatan masing-masing.

C. Relevansi konsep Security Dilemma dari pembahasan India-Pakistan Cina

Security dilemma atau Dilema keamanan yang juga telah penulis bahas pada kerangka konseptual didefinisikan sebagai fenomena aksi serta reaksi antar beberapa negara. Tindakan suatu negara untuk meningkatkan keamanan akan dianggap sebagai atau akan melemahkan keamanan negara lainnya

Dalam Pengembangan persenjataan nuklir India yang diakibatkan oleh pengembangan senjata nuklir Cina membuat Pakistan ikut mengembangkan persenjataan nuklirnya karena sengketa koflik sejarah mereka. Sebenarnya kedua negara baik itu India maupun Pakistan, menginginkan perdamaian dengan jalan memperkuat dirinya untuk melindungi dari ancaman yang dianggapnya ditujukan terhadap negara mereka India karena Cina, dan Pakistan karena India yang terjadi kemudian yaitu multi konflik. Kemudian masing-masing negara mengembangkan sistem persenjataan nuklirnya untuk menjaga ketenangan negaranya dan kedamaian di negaranya. Namun tindakan ini malah dianggap sebagai usaha ofensif dari negara lainnya. Yang terjadi kemudian malah saling mengancam, perdamaian yang diharapkan tidak tercapai.[17]

Pada tanggal 16 oktober 1964 Cina melakukan uji coba nuklirnya yang pertama. Motivasi Cina adalah ingin meyempurnakan teknologi pembuatan senjata nuklir yang dirasakan masih jauh terbelakang dibandingkan dengan Amerika serikat, Inggris, Perancis maupun Rusia. Berkaitan dengan itu dan persepsi ancaman atau dilemma keamanan terhadap integritasnya sebagai negara besar dan berdaulat, India telah banyak belajar dari sejumlah massa lalu. Uji coba nuklir Cina dianggap sebagai ancaman ekstra regional merupakan pertimbangan penting dalam perencanaan pertahanan dan keamanan India. Sehingga mengembangakn program nuklirnya juga. Perpecahan India-Pakistan, berbagai masalah antara India dan Pakistan akhirnya menimbulkan ketegangan antara kedua pihak. Pasca tes nuklir Pokhran yang pertama oleh India sampai ekshalasi masalah India-Pakistan, sehingga Pakistan juga terdorong untuk mengimbangi nuklir India dengan memiliki senjata nuklirnya sendiri (disinyalir bekerjasama dengan Cina), Persoalan kemudian terkesan masing-masing negara India dan pakistan tegang karena masalah nuklir. Namun ketika kita menilik dari sejarahnya proses pembuatan Nuklir di India di dorong oleh Cina, namun masalah kemudian berlanjut ketika perpecahan India- Pakistan sehingga menimbulkan security dilemma bagi Pakistan “your Security is my insecurity’

BAB III KESIMPULAN

Konsep dilema keamanan masih dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia dewasa ini. Suatu negara akan merasa curiga apabila ada negara lain menjalankan kebijakan pembagunan militer secarah besar-besaran ataupun membangun persenjataan pemusnah massal, maka ekuilibirium kekuatan akan beralih kearah negara yang membangun pesenjataan itu. Hal ini tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan oleh negara yang merasa terancam, sehingga negara tersebut juga akan menempuh kebijakan pembagunan persenjataan

Pandangan kritis penulis tentang konsep security dilemma

Perlombaan senjata, seperti halnya kegagalan komukasi, jarang menjadi akar penyebab konflik. Keputusan untuk meneruskan pembiayaan militer yang sangat tinggi paling sering mencerminkan adanya perselisihan dan konflik dengan pihak lawan yang terjadi sebelumnya perlombaan senjata dan kekhawatiran atau dilema yang berlebihan dapat memperparah konflik yang memang sudah ada. Dalam artian security dilemma yang memicu perlombaan persenjataan untuk memperoleh kedamaian agar tidak diserang, karena perasaan yang khawatir justru akan memicu terjadinya peperangan. Norman cousin pernah mengadakan sebuah studi komputer imajiner yang meyeluruh atas semua perlombaan senjata dalam sejarah untuk menentukan apakah perlombaan senjata merupakan penyebab perang atau penjamin perdamaian. Ia menemukan bahwa semenjak tahun 650 sebelum masehi, terdapat 1.956 perlombaan senjata, dan hanya enam belas kali diantaranya yang tidak berakhir dengan peperangan, dan sebagian besar diantaranya berakhir dengan kebangkrutan ekonomi.[18] Setidaknya ada tiga dampak security dilemma yang sangat berbahaya bagi keamanan dunia;[19] mendorong terjadinya perlombaan senjata, menyulut ketegangan dunia (ancaman terhadap keamanan negara lain), meningkatkan potensi konflik terbuka atau perang antar negara dan jika perang terjadi potensi korban juga meningkat.

.



[1] Kompas, Hal Tajuk Rencana ,20 Desember 1989.

[2] Andrew Boyd, An Atlas of Worlds Affairs ( New York: Frederick A Praenger Inc Publisher, 1962), hal. 104.

[3] India and Pakistan: Tense Neighbor, Online Article BBC news, sumber: http://news.bbc.co.uk/2/hi/south_asia/102201.stm

[4] Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional, terj. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993) hal. 196.

[5] Robert Jervis, “Cooperation Under The Security Dilemma”,( New York, 1994), hal. 310.

[6] Ichlasul Amal & Dafri Agussalim, Keamanan Internasional; Silabus, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana FISIPOL HI UGM, 2007)

[7] Norman D. palmer, “The Indian Political System”, (Boston: Houghton Mifflin Company:, 1971). Hal 127

[8] Kompas, pada tajuk rencana, 20 desember, 1988

[9] Carey sublet, Pakistan’s Nuclear Program: 1998 The year of Testing, sumber: http://nuclearweaponarchive.org/Pakistan/Paktests.html

[10]Keraf, S, Security Compleks, sumber: http://www.ksatrian.or.id/kajian/kw-in.htm

[11] India and Pakistan, op.cit.

[12] Perebutan Surga di anak Benua : SAARC tumpul, sumber: http://www.angkasa-online .com/12/10/fokus/fokus2.htm.

[13] Kompas, Tajuk Rencana, 14 juni 1988

[14] Laporan Resmi: 1980-1981, Departemen energi India dalam Raja C. Thomas, “India’s Nuclear and Space Programs: Defense of development?” hal. 329.

[15] Carey sublet, op.cit

[16] Ibid.

[17] Stephen J.Majeski, “Expectation and Arms Races” (American Journal of Political Science, : 1985), hal. 217.

[18] Norman Cousin, In place of folly , dikutip dalam Walter S. Jones, op.cit, hal. 197.

[19] Ichlasul Amal & Dafri Agussalim, op.cit,

Kebijakan Pemerintah Indonesia Untuk Menarik Minat Investasi Asing (FDI)

Gagasan mengenai investasi berawal dari sejarah perdagangan internasional yang muncul pasca perang dunia II sebagai produk dari persaingan ideologi liberal yang bersaing dengan merkantilisme.. Awal tahun 1970-an , sistem perdagangan leih banyak didominasi oleh gagasan liberal yang diajukan oleh Amerika. Kemudian pada periode pertengahan 1970an sampai awal 1980an, yaitu masa kritis Amerika, gagasan reformis dan neomerkantilisme muncul mendominasi arena ekkonomi politik internasional. Kemudian Pada pertengahan 1980an sampai awal 1994 dimana perdagangan dunia giat kembali ideologi liberal berhasil muncul kembali membendung kecenderungan merkantilisme.[1] Gagasan mengenai Liberalisasi ekonomi yang terbuka diperkenalkan oleh ahli ekonomi neoklasik David Ricardo dan adam smith dengan teori “keunggulan komparatif “. Dilaksankannya prinsip keunggulan komparatif memastikan sebuah negara pada akhirnya akan meraih efisiensi ekonomi dan kesejahteraan yang lebih besar lewat partisipasi perdagangan luar negeri, bukannya lewat proteksi perdagangan.[2] FDI merupakan salah satu bentuk investasi yang terjadi dizaman liberal ini.

Penanaman Modal Asing langsung (Foreign direct investment- FDI) merupakan salah satu faktor utama pendorong perekonomian negara. Selain manfaat yang langsung dapat dirasakan seperti pembukaan lapangan kerja baru, transfer teknologi, peningkatan ekspor dan pendapatan pemerintah, FDI juga memberikan sinyal positif di lingkungan usaha yang akan memicu investor untuk berinvestasi lebih besar. Indonesia memerlukan pendanaan dalam jumlah besar untuk menggerakkan roda perekonomian dalam negeri sehingga kesejahteraan penduduknya dapat meningkat. Baik sektor publik maupun swasta di Indonesia dituntut untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga dapat bersaing dengan negara lain dalam menarik dana dari luar negeri.

Dalam dekade terakhir ini Persoalan yang terjadi ialah investasi asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia? sehingga diperlukan dibahas mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dalam mendatangkan investasi asing atau yang disebut FDI.

FDI enggan menanamkan modalnya di Indonesia disebabkan karena ketidakstabilan kondisi ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia sekarang ini sebagaimana rentetan kejadian yang terjadi seperti demonstrasi masyarakat yang tiada henti-hentinya dalam menanggapi setiap ketimpangan yang terjadi di Indonesia dan kadang menjurus ke arah anarkisme, rentetan pengeboman yang melanda Indonesia dari ingatan penulis bom Bali, bom hotel marriot, bom dimuka gedung kedutaan Amerika dan ketidakstabilan ekonomi dinegara kita.

Ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah kita pada saat ini yaitu: yang pertama, teori intervensionis berasal dari efisiensi Institusi, khususnya peran negara (state). Hakikat kebijakan ekonomi adalah intervensi negara secara cermat dan tersedianya mekanisme sehingga mendorong pertumbuhan dan investasi yang cepat. Dalam artian diperlukan kapabilitas negara melakukan intervensi secara efektif melalui instrumen kebijakan untuk mendukung pembagunan ekonomi.[3] Penanaman modal asing ataupun modal dalam negeri tidak dibiarkan lepas begitu saja tanpa adanya intervensi dari negara bersama dengan perusahaan dalam menentukan arah kebijakan dan pasar konsumen yang dituju. Contoh kasus pada korea selatan yang keuntungannya diperoleh oleh negara dan juga dinikmati oleh masyarakat dan FDI melalui pertumbuhan ekonomi yang cukup fantastis. Lemahnya peran FDI dan perusahaan-perusahaan multinasional diKorea Selatan banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme dinegara tersebut. Bahkan hongkong yang hampir sama sekali menyandarkan diri pada pasar bebas pun, dalam kenyataanya negara tetap memegang posisi penting keuntungannya yang ditunjukan oleh pemerintah hongkong melalui belanja progresif pemerintah. Yang Kedua,[4] mensinergikan peran dari rakyat, industri atau perusahaan lokal, penanam modal asing dan negara. Dengan cara meberdayakan masyarakat dengan industri komoditi dibidang pertanian dan perkebunan dengan cara penyuluhan cara bertanam yang baik untuk memperoleh bibit unggul dibidang-bidang tersebut, kemudian negara menghargai masyrakat tadi dengan pemberian insentif ataupun upah terhadap pekerjaannnya, disamping negara dan perusahaan lokal mencari penanam modal asing untuk menanamkan modalnya terhadap hasil pertanian, perdagangan, dan perkebunan tadi dan juga melalui bantuan networking dari negara. Keuntungan hasil yang diperoleh akan terbagi tapi cenderung akan lebih menguntungkan negara dan masyarakat pada daerah tersebut. Namun diperlukan perbaikan iklim yang kondusif terhadap investasi asing dalam negara merupakan faktor yang sangat menopang.

Ketiga, penulis melihat keberhasilan ekonomi negara singapura dimana antara tahun 1960-1999, pertumbuhan riil mencapai 8%.[5] Ada tiga hal yang menentukan keberhasilan ekonomi negara singapura, yaitu:[6] pertama pengadopsian pendekatan ekonomi terbuka dengan mendorong FDI mendukung rejim perdagangan bebas, dan mempromosikan industri berorientasi ekspor. Kedua, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan perusahaan-perusahaan swasta dengan mempertahankan kebijakan ekonomi makro yang stabil, menjaga pemerintahan yang bersih dan jujur yang menyediakan jasa yang efisien dan mempertahankan transparansi, kerangka aturan yang probisnis, mempertahankan harmoni industri buruh melalui kerjasama anatar negara, gerakan buruh dan pemimpin-pemimpin industri. Ketiga, berinvestasi dengan gencar disektor infrastruktur publik dan pengembangan sumber daya manusia dan memastikan pencapaian standar kualitas yang tinggi di kedua bidang.

Dalam prakteknya sekarang ini dalam menarik FDI menanamkan modalnya kebijakan dilakukan sangat-sangat liberal dan memberikan semuanya kepada mekanisme pasar seperti:

1. Pemerintah Indonesia mengadakan Internasional Infrastructure Summit pada tanggal 17 Janauari 2005 dan Bumn Summit pada tanggal 25-26 Januari 2005. Infrastructure summit menghasilkan keputusan eksplisit bahwa seluruh proyek infrastuktur dibuka bagi investor asing untuk mendapatkan keuntungan, tanpa perkecualian. Pemerintah juga menyatakan dengan jelas bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia ataupun bisnis asing yang beroperasi di Indonesia. Penjelasan lebih lanjut BUMN akan dijual pada sektor privat.[7],

2. Pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal yang antara lain memuat mengenai: Jangka waktu yang lebih lama pada hak guna tanah: dalam Undang-Undang yang baru, maksimum hak guna untuk pengolahan tanah, hak guna bangunan dan penggunaan tanah diperpanjang, dari 35, 30 dan 25 menjadi 95, 80, dan 75 tahun, Ketentuan perlakuan secara nasional: Undang-Undang tersebut memberikan dasar yang merata untuk perlakuan yang sama antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing, [8]

Melihat kebijakan yang dilakukan oleh negara kita konsepnya menyerahkan semua kepada mekanisme pasar seperti konsep yang diterapkan oleh negara Singapura. Namun hasilnya yaitu negara kita tidak dapat menarik banyak investasi asing ke negara kita.

Indonesia hanya berada pada posisi 135 sebagai negara yang menjadi tujuan investor dunia dari 175 negara yang disurvei,”[9].

Hal itu disebabkan karena ketidak tegasan pemerintah dalam menentukan arah investasi perdagangan di Indonesia seperti sekarang ini. Sistem yang sangat liberal ternyata tidak juga mendatangkan investasi asing yang besar. Kebijakan penanaman modal asing yang sangat liberal ini cenderung menyerahkan semua kepada pasar sehingga apabila terjadi persaingan akibat dari globalisasi misalnya perusahaan modal asing yang telah mengadakan kontrak kerjasama dengan pihak Indonesia mendapat saingan yang kuat dari perusahaan lain untuk mencapai penjualan terhadap konsumen dipasar global tentu akan membutuhkan bantuan dari pemerintah dalam menjalin networking dengan konsumen dinegara lain jadi tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa koridor yang jelas.singkatnya sistem investasi dan perdagangan indonesia yang sangat liberal tidak bisa menjamin penanaman modal asing di indonesia akan merasa aman menanamkan modalnya. Selain itu berdasarkan data mengenai perlidungan bisnis di Indonesia yang dikeluarkan dari World Economic Forum (2007) yang berpusat di Geneva (Swiss) untuk The Global Competitiveness Report 2007-2008 menunjukkan bahwa dari 131 negara yang masuk dalam sampel penelitiannya, Indonesia berada pada peringkat ke 93 untuk pertanyaan apakah pengusaha (responden) bisa mengandalkan pelayanan dari polisi untuk melindungi usahanya dari kriminalitas (Tabel 1).[10] Mungkin ketidakstabilan politik di suatu negara tidak terlalu masalah bagi pengusaha tentu (selama tidak sampai menimbulkan perang saudara), tetapi gangguan kriminalitas dan hukum yang tidak pasti yang melindungi hak-hak dari pelaku bisnis dalam berbagai transaksi termasuk jual beli tanah dan sengketa bisnis tentu sangat mengganggu atau menakutkan seorang calon investor untuk menanam modalnya di negara tersebut.

Table 1 Peringkat Indonesia mengenai Perlindungan Bisnis oleh Polisi versi WEF 2007

Peringkat

Negara

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

93

131

Finlandia

Denmark

Jerman

Singapura

Swiss

Islandia

Hong Kong SAR

Norwegia

Austria

Emirat Arab Serikat

Indonesia

Venezuela

Disamping itu pula dampak dari sistem yang hiper-liberalis sangat rentan terhadap pelarian modal asing keluar negeri diakibatkan tidak jelasnya peranan pemerintah dalam memanfaatkan aset bangsa. Kondisi dari sistem yang hiper-liberalis tadi menyebabkan keuntungan besar akan diperoleh oleh penanam modal asing.

Fakta menunjukkan, di negara-negara lain yang tidak seliberal Indonesia, seperti vietnam, India dan Cina mampu menarik investasi ketimbang Indonesia yang memiliki UU Super Liberal. Sudah menjadi hakikat kapital bahwa ia tidak mengenal sistim atau metode kenegaraan apa yang dipentaskan. Kondisi yang kondusif serta peraturan yang jelas akan penanaman modal asing dan peranan negara dalam menjalin networking bagi PMA merupakan hal-hal yang seharusnya diperhatikan dalam pembuatan kebijakan.



[1] Mohtar Mas’oed, Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional, Pada Topik :Perdagangan dalam perspektif Ekonomi Politik internasional. (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana FISIPOL HI UGM, 2007), hal. 25.

[2] Robert Gilpin dan Millis Jean Gilpin, Tantangan kapitalisme Global, Dikutip dalam Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme baru, Peran negara dalam pembagunan, (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005)., hal. 85.

[3] Stephan Haggard, Politik industrialisasi di Korea selatan dan Taiwan, dalam Budi winarno, Ibid., hal. 165.

[4] Penulis mencoba mensinergikan peran pemerintah, FDI, Industri Lokal dan masyarakat sekitar, berdasarkan pengetahuan penulis melalui pembelajaran Global Value Chain.

[5] Budi winarno, Op.cit., hal. 200.

[6] Yuniarti, Peran Negara dalam Industrialisasi di Malaysia dan Singapura 1970-2000, tesis S2 (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana FISIPOL HI UGM, 2007), hal. 130.

[7] Mohtar Mas’oed, Memahami Investasi Langsung Luar Negeri, Handout kuliah Investasi dan Perdagangan, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana FISIPOL HI UGM, 2007).

[8] Penulis mengutip beberapa point dari Dionisius Nardjoko, Undang-undang penanaman Modal baru, sumber: http://www fe.ui.ac.id/~patunru/globalisasi.PDF., hal 3.

[9] Nasril bahar, Pemda Harus Benahi Iklim Investasi Daerah. Sumber: http://www.nasrilbahar.wordpress.com/page/2/-63k

[10] Tulus Tambunan, Daya Saing Indonesia Dalam Menarik Investasi Asing, (dipaparkan pada seminar Bank Indonesia, 2007) sumber: http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-2495-06022008.pdf., hal. 13.